Air Tanah Indonesia
Levri Ardiansyah (30 Januari 2015)
Tampaknya, di bumi Indonesia terdapat air tanah yang memiliki kemampuan mencipta berdasarkan pengalamannya mencipta (
water experience) yang tersimpan dalam memori air (
water memory). Ketiga kemampuan air itu yakni (1) kemmapuan air mencipta (
water ability to construct), (2) kemampuan air berpengalaman (
water experience) dan (3)
kemampuan air menyimpan data konstruk
(water memory) menjadikan air Indonesia terampil dan cekatan dalam mencipta tanpa memerlukan otak untuk berpikir.
Saya menduga air itu memiliki emosi (
water emotions) karena air tanah yang berbentuk lumpur itu dapat melakukan tindakan mencipta (
act to create) dengan cara
mengeluarkan sejenis gel (
hydrogel) yang bergerak melakukan aktivitas membentuk rupa. Bukankah proses emosi itu terdiri dari proses memaknai, perasaan dan tindakan? Tampaknya, air dengan 3 kemampuan itu memiliki tanda sebagai
ringwoodite, karena rekaman data yang ia simpan telah berusia lebih dari 4,5 milyar tahun lamanya. Dapat kita bayangkan betapa padatnya isi memori air itu, maka pantas jika sebongkah air yang membatu mengandung air seluas samudera.
Pada buku pertama saya tahun 2014 berjudul
Cooperative Human Actions: Menelusuri Jejak Energi Interrelasi Manusia Primitif, ihwal kemampuan mencipta ini cukup banyak saya tulis dalam paparan tentang proses emosi manusia. Setelah buku rampung dan ber-ISBN, secara kebetulan saya mengalami peristiwa yang menyadarkan saya bahwa kemampuan mencipta itu juga dimiliki oleh air. Saya bersyukur, Tuhan memberi saya sebongkah batu yang dengan susah payah saya pelajari hingga akhrinya dapat saya baca sebagai master rupa Bumi dan benda-benda angkasa lainnya. Saya sangat ingin segera menuntaskan tulisan tentang batu ini sebagai peta geomorfologi dan peta benda-benda angkasa lainnya. Oleh karena itu saya tuliskan saja pada blog ini.Saya berharap ada satu ahli geologi yang berkenan mempelajari peta batu ini.
Satu batu lainnya tentang otak manusia juga harus sudah mulai saya pelajari. Sesungguhnya saya sendiri tidak mampu membaca dan mempelajari relief pada batu kali ini. Tapi apa daya, disaat belum ada 1 pakar yang juga meyakini kebenaran ilmiah dari batu ini, saya tidak mampu putus asa. Meski saya sadar, saya tidak berkompeten untuk sekedar berkata tentang geologi, apalagi anatomi otak manusia. Saya hanya mengerti ilmu administrasi.
Umumnya, situs lokasi temuan batu berupa candi, patung atau bangunan bersejarah lainnya. Tidak demikian dengan lokasi temuan batu kali ini. Reliefnya abstrak, hanya terlihat beberapa bentuk hewan, tidak ada peta, tidak ada huruf, dan tidak menarik sama sekali. Hanya batu kali biasa. Tetapi dengan memadukan relief batu secara komputerais, kita baru menyadari bahwa relief pada batu ini adalah peta geomorfologi misalnya dan relief pada batu itu adalah anatomi otak dan kepala manusia. Saya menyakini bahwa lokasi temuan batu ini dulunya merupakan laboratorium sains dan peradaban sekaligus perpustakaan riset. Inilah alasan saya datang ke Istana Negara menemui Presiden Jokowi pada 07 Januari 2015 dengan harapan agar lokasi batu kali ini dapat dikuasai negara dan dilindungi oleh United Nations. Sayangnya saya tidak dapat menemui beliau.
Kini saya hanya dapat terus membaca, menulis dan berkehendak untuk mendedikasikan temuan-temuan yang saya hasilkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban pada masa depan. Semoga.